Pilu Membiru

Tapi ini bukan tentang lagu Kunto Aji.


-


Hidup sebagai rantai pertemuan, dan perpisahan sebagai kematian perasaan bagi sebagian orang. Bertemu, berpisah, dan bertemu kembali.


Kalau dipikir-pikir, engga ada kata "salah jalan", tapi sebenarnya kita yang lagi memperbaiki jalan yang lagi kita lalui.


-


Kali ini aku pulang dengan perasaan sedih. Aku tau perasaan sedih ini aku sendiri yang memilih. Untuk tetap ada di diri ini. Untuk mengakar dan mungkin sedih ini udah berduri.


Aku selalu bilang, seharusnya aku bisa mengendalikan pikiran buat nggak terus-terusan sedih nggak berujung. Tapi maaf, kali ini aku sungguh munafik.


Hari ini, tanaman yang subur itu kembali layu. Bukan karena terlalu kering, terlalu tandus, atau enggak dikasih pupuk. Tapi tanaman itu layu karena terlalu banyak mendapatkan air, meluap-luap sampai ke permukaan.


Rasanya jiwa ini sudah terlalu penuh. Ingin menyalurkan, tapi sulit sekali untuk bilang "Halo? Aku disini sedang kesulitan".


Sering sekali aku berfikir "Jangan dipikirin! Yang terjadi yasudahlah! Dunia sedang bekerja, duduk sajalah dengan meminum kopi hitammu itu." 


Tapi perihal perasaan, perihal sakit. Jauh berbeda dan enggak terikat dengan logika. Rasanya logika dan perasaan seperti tarik ulur, siapa yang kuat dia yang menang.


Tapi kali ini, perasaan yang menang. Aku bergumam dalam kereta: "selamat bersedih-sedih ria untuk beberapa waktu kedepan".


Perasaan penuh sesak. Hati bergejolak. Aku harus bagimana ya? Enggak usah dirasain. Aku harus bagaimana ya? Enggak usah dipikirin. Aku harus bagaimana ya? Coba ceritain. Dan aku memilih menulis ini, aku mencoba.


-


Aku melihat orang berjalan di kereta, berlari, atau bisa jadi menari di gerbong lain. Bisa jadi mereka menari dalam menjalani hidupnya juga. Tapi kenapa aku enggak bisa jalan? Masih terhenti di Jakarta itu? Apa yang aku tunggu? Aku merasa, apapun yang aku lakukan seperti tidak ada maknanya.


Katanya, laki-laki enggak mau sama perempuan yang memancarkan kesedihan. Tapi tiap bertemu, rasanya ingin sekali aku menatapnya dalam-dalam setelah itu bilang "lihat mataku, sanggup enggak kamu?". Rasanya malas saja berpura-pura dengan kebahagiaan palsu agar kamu suka. Bukan, bukan maksudnya aku minta price charming datang dan menolong diri. Karena akupun tau, yang bisa membahagiakan diri ini ya cuma aku.


Aku enggak mau menaruh kebahagiaan secara penuh di orang lain, karena saat orang itu pergi, detik itu juga kebahagiaan itu akan pergi? Enggak, aku enggak mau.


-


Mungkin itu semua yang membuat aku merasa hampa, mungkin itu yang membuat lubang besar di hati, dan mungkin itu juga yang membuat hati pilu membiru.


Saat ini, aku bertanya pada diri "lalu, apa gunanya semua ini?"


Dan jawabannya hanya satu

Dunia memang tempatnya ujian.


-



Ditulis saat dalam perjalanan kereta Jakarta - Kediri. 

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama