Kemarin, aku masih bersikeras melangitkan namamu di setiap tundukku. Memohon Tuhan meluluhkan hatimu, menghancurkan tembok tinggimu. Dan aku berharap Tuhan memiliki rencana yang indah antara kamu dengan aku.
Lalu aku tahu kamu pergi mencarinya lagi— dia, tempat doa-doamu mungkin berlabuh.
Aku telah berusaha membersamaimu, meskipun kamu tidak tahu. Berusaha mengikuti jejakmu, tapi kamu semakin pergi menjauh.
Sekarang aku lelah. Mungkin memang sudah waktunya aku menyerah.
Doaku berubah. Kurasa aku tidak ingin lagi menciptakan ekspetasi semu, skenario palsu, dan merangkai kemungkinan-kemungkinan yang menyesatkan kepalaku. Aku menyatakan pada Tuhan, aku benar-benar mundur. Seperti sebelumnya, aku meminta Tuhan untuk membantuku ikhlas, sungguh tak mudah jika kuusahakan sendiri. Masih dengan tangis yang deras, namun kuharap kali ini doaku cukup jelas.
Aku tidak tahu apakah kamu akan membaca tulisanku ini. Namun, kujadikan aksara ini sebagai saksi bahwa aku pernah mengagumimu melalui doa-doaku. Pernah memohonmu diantara tangis yang terpejam. Pernah menyebut namamu diantara tunduk yang paling dalam. Pernah meminta Tuhan menggerakkan hatimu ke arahku— meski nyatanya hatimu tetap diam.
Mulai malam ini, doaku adalah tentang kebahagiaanmu. Jika suatu hari kamu merasa begitu banyak alasan untuk bersenyum, mungkin doaku bersanding dengan doa ibumu. Sekarang aku mungkin baik-baik saja. Sungguh butuh waktu untuk menenangkan hati yang pernah menyukai begitu hati-hati. Sungguh butuh waktu untuk menghilangkan perasaan yang pernah menjadi doa paling riuh di langit malam.
But I will be fine, eventually.
Posting Komentar